Wednesday 20 July 2016

Catatan Budaya/Nilai/Waspada/S.Satya Dharma


N I L A I
*s.satya dharma

Paus sastra indonesia, HB Yassin(Alm) Pernah Berkata: Sejatinya Satrawan adalah seseorang yang dengan alat bahasa yang dikuasainya, membentukkan nilai nilai kehidupan yang hadir dan tumbuh dalam kesadarannya, dalam kehidupan masyarakatnya. Itu berarti seorang sastrawan adalah juga seorang pemikir kehidupan yang mengajak orang lain untuk meninjau lebih dalam hakekat segala hal.

Dalam konteks inilah Sastrwan, ujar HB Yassin lagi, memiliki kekuasaan karena ia bisa menangkap  dalam perkataan, lalu memberi bentuk terhadap apa yang cuma bisa dirasakan samar samar dan tidak berupa oleh orang biasa.

Itulah sebabnya kita seringkali mengernyitkan dahi tatkala membaca sejak sajak karya para penyair. Bukan hanya karena kedalaman makna yang dikandung sajak sajak itu, bukan pula karena kemampuan penulisnya membangun irama kata kata, tetapi karena kesadaran hidup dan nilai nilai yang ditawarkannya  jauh melampaui kesadaran kita yang awam ini.

Itulah mengapa seni sastra, kata HB Yassin lagi, sesungguhnya adalah seni bahasa. Oleh karena itu, untuk mengerti sastra seseorang haruslah mengerti bahasa dan kemungkinan kemungkinan tenaga yang terkandung didalam pernyataannya.

Maka kepenyairan atau kesastrawanan seseorang sejatinya tak hanya dilihat dari kemahirannya menyusun kata atau kepekaan mengolah rasa. Kesastrawan atau kepenyairan adalah kemampuan mengenali huruf  dan memahami kata kata.

Bahkan jika kata tak lagi punya makna, seperti ujar sutardji Calzoum Bahri dalam kredo puisinya, maka diamlah, "amuk" atau "kapak". Sebab bersyair lebih dari sekedar membangun irama. Sedangkan bersastra adalah memberi pemaknaan pada untaian kata kata.

Itulah sebabnya kesastrawanan membutuhkan lebih dari sekedar proses, tapi juga loyalitas. Betapa sering kita menyaksikan seseorang yang tiba tiba jadi penyair, jadi sastrawan, jadi seniman, ketika ia sedang menganggur dan putus cinta.

Namun begitu ia diterima bekerja atau kembali jatuh cinta, hilang pula kemampuannya menyusun kata kata. Sajak sajaknya, syair syairnya atau bahkan euphoria kesenimanannya, mendadak raib bersama berlalunya waktu.

Maka, agar tak terus menerus menjadi inflasi penyebutan penyair, sastrawan, seniman sudah seharusnya setiap orang mengevaluasi diri dimana sesungguhnya kedudukan dan posisinya didalam aktivitas mengolah kata dan rasa itu. Apakah ia sekedar sebagai penikmat, simpatisan, pengamat atau penggemar belaka.

Sembari itu, para seniman para penyair atau orang orang yang sedang belajar untuk masuk dan berkubangdidunia kesenian, mulailah untuk tidak besikap narsis dengan saling memuji sesamanya sekedar untuk mempertahankan eksistensi agar terus disebut seniman, sastrawan dan penyair.

Sungguh, predikat kkesastrawanan kepenyairan, kesenimanan terlalu murah jika disematkan kepada sembarang orang yang belum mengalami perjuangan apapun dalam dunia tersebut. 

Dunia seni adalah dunia pemikiran dan bahkan perenungan. Derajatnya hanya setingkat lebih rendah dari agama. Kesenian tidak lebih rendah dari fisika dan matematika. Maka, jika kita belajar agama untuk memperteguh akidah, kita belajar seni untuk merawat kepekaan nurani dan memperhalus budi pekerti. Dus, bukan untuk jadi seniman.

Jadi, marilah kita tidak merendahkan martabat gelar kesenimanan, kesastrawanan dan kepenyairan itu dengan menyematkannya kepada sembarang orang yang baru sekedar tau menulis abc atau karena rajin mengikuti aktivitas kesenian. Atau bahkan hanya sekedar karena seseorang itu setiap hari nongkrong di Taman Budaya

No comments:

Post a Comment