Tuesday 20 September 2016

BUDAYA MEMBACA MASYARAKAT INDONESIA

Budaya Membaca Masyarakat Indonesia 

oleh. Fadmin Prihatin Malau


Sebagai seorang pendidik (dosen), penulis prihatin melihat para siswa SMP, SMA/SMK dan mahasiswa malas membaca, lebih rajin bertelepon ria di handphone atau bercerita sesama siswa dan mahasiswa.

Celakanya para siswa banyak yang lebih senang bermain game. Para mahasiswa lebih senang berkumpul, bercerita dicafe-cafe dilingkungan kampus. Fenomena siswa dan mahasiswa ini juga disenangi masyarakat Indonesia, dari muda usia sampai yang lanjut usia. Budaya membaca bagi masyarakat Indonesia masih memprihatinkan.

Perpustakaan sekolah atau kampus baru ramai ketika akan berlangsung ujian semester. Siswa dan mahasiswa baru membaca materi pelajaran dan kuliah ketika ujian ulangan akan melaksanakan. Membaca bagi masyarakat Indonesia masih cenderung mengisi waktu luang.

Hal itu bisa dilihat ketika berada dilobi hotel atau diruang tunggu tempat praktik dokter. Suratkabar dan majalah yang ada diruang tunggu dibaca. Fenomena ini tentu membaca hanya mengisi waktu(to fill time).

Membaca ketika menunggu panggilan dokter atau ketika menunggu seorang dilobi hotel dan tempat lainnya. Membaca mengisi waktu luang atau mengahabiskan waktu dikategorikan pola membaca sporadis, ambivalen. Hal itu dikarena bahan bacaan yang disediakan diruang itu maka diruang itulah yang dibaca.

Bila ruang tunggu praktek dokter misalnya ada suratkabar Harian Waspada maka suratkabar itulah yang dibaca. Artinya, pola membaca belum berbentuk sosial-kultural. Membaca belum untuk meningkatkan nilai kehidupan sebab masyarakat Indonesia belum ingin mengetahui sesuatu informasi dan ilmu pengetahuan dari tulisan atau bahan bacaan.

Data Badan Pusat Statistika (BPS) pada tahun 2012 memiliki korelasi yang kuat dengan membaca hanya mengisi waktu (to fill time). BPS tahun 2012 menulis tingkat minat baca Indonesia sebanyak 91,68 persen penduduk berusia 10 tahun keatas lebih menyukai menonton televisi dan hanya sekitar 17,66 persen menyukai membaca suratkabar, buku atau majalah.

Data dari BPS itu juga menyebutkan, konsumsi satu suratkabar di Indonesia dengan pembaca rasio 1 berbanding 45 orang(1:45). Artinya pembaca suratkabar sangat banyak bila dibandingkan dengan konsumsi satu surat kabar. Sedangkan pembaca di Filipina tingkat perbandingannya 1:30 atau satu suratkabar dibaca 30 orang.

Dipengaruhi Sosio kultural pola baca satu masyarakat dipengaruhi faktor sosio kultural. Budaya membaca masyarakat Indonesia rendah sebab masyarakat Indonesia lebih akrab dengan tradisi lisan, tradisi bercerita, bertutur dan mendengarkan orang bercerita atau bertutur.

Sosio-kultural berkembang sehingga masyarakat Indonesia mampu bercerita atau mendengarkan cerita berjam-jam. Kultur komunikasi oral ini sangat mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia bila dibandingkan dengan kulturliterasi.

Pengaruh kuat dari pola hidup masyarakat Indonesia cenderung instan dan praktis. Malas mencari informasi, lebih suka yang tertanya, lebih senang kultural oral atau tradisi lisan. Mengapa? jawabnya, karena lebih gampang dan praktis. Beda dengan kultur literasi (membaca dan menulis) tidak praktis, tidak instan tetapi harus berusaha, formal dan prosedural. Pola kultur literasi kurang serasi bagi masyarakat Indonesia budaya membaca masyarakat Indonesia masih memprihatinkan.

Pengaruhnya sistem pendidikan Indonesia belum mendukung atau menyiapkan intrumen menumbuhkan minat baca para peserta didik. Terkadang anak Sekolah Dasar sampai kelas empat masih belum bisa lancar membaca sebab instrument untuk itu belum maksimal. Sistem pendidikan lebih banyak mengajak anak untuk mendengar ocehan, cerita, penjelasan dari tenaga pendidik. Akhirnya anak didik malas membaca dan menulis.

Sistem pendidikan Indonesia harus mengikuti prosedural sehingga pendidik(guru/dosen) harus patuh dan tidak punya waktu mengajak anak didik gemar membaca. Selain prosedural pendidikan yang memanjakan anak didik sehingga tidak penting membaca sejalan dengan perkembangan teknologi informasi media elektronik.

Teknologi informasi menumbuhsuburkan budaya mendengar dan melihat seperti media televisi memanjakan pemirsa malas membaca. Audio visual menjauhkan masyarakat dari budaya membaca. Kini setiap rumah memiliki dan nyaris dua puluh empat jam televisi mengudara sehingga pemirsa malas beranjak dari depan televisi.

Satu fakta ketika satu ruang tunggu menyediakan bahan bacaan dan juga menyediakan televisi, bisa dilihat orang-orang yang berada diruang tunggu itu cenderung menonton televisi dari pada membaca.

Kemajuan teknologi informasi elektronik mengoptasi kehidupan masyarakat Indonesia cenderung budaya instan. Kemajuan teknologi informasi elektronik seperti televisi dan radio cenderung melumpuhkan minat baca dikalangan masyarakat Indonesia. Persaingan ketat antara media cetak dengan media elektronik membuat kompetisi semakin ketat akibat pola membaca masyarakat semakin menyedihkan.

Fakta menyedihkan ini berkat kemajuan teknologi informasi elektronik sehingga budaya membaca masyarakat Indonesia semakin lemah. Beda dengan masyarakat pada negara-negara maju sudah membaca menjadi satu kebutuhan dalam memperoleh informasi.

Fakta ini bisa dibuktikan dimana masyarakat pada negara-negara maju ketika berada diruang publik jarang bertanya sebab sudah membaca berbagai informasi yang panjang. Berbeda dengan masyarkat Indonesia, meskipun pada ruang publik sudah dilengkapi dengan berbagai informasi tertulis tetapi masih saja bertanya. Artinya, budaya membaca masih rendah bila dibandingkan masyarakat dengan negara-negara maju.

Disamping itu pemerintah sangat sedikit membuat informasi tertulis pada ruang-ruang publik bila dibandingkan dengan negara-negara maju. Lihat saja begitu terbatasnya keterangan rambu-rambu lalu-lintas, petunjuk jalan, nama jalan dan nama lokasi satu daerah. Kondisi ini menandakan pemerintah masih kurang peduli dengan persoalan literasi.

Akibatnya masyrakat Indonesia kurang berminat membaca. Hasilnya masyarakat lebih senang bertanya tentang sesuatu ketika diruang publik dari pada membaca informasi tertulis yang ada ruang publik. Ketidakseriusan pemerintah berdampak pada budaya membaca masyarakat Indonesia. Beberapa faktor memengaruhi rendahnya minat membaca masyarakat Indonesia seperti pemerintah belum maksimal membangun kultur literasi.

Sangat memprihatinkan, budaya membaca atau pola membaca berkaitan dengan peradaban suatu masyarakat, satu bangsa. Masyarakat Indonesia harus menyadari pentingnya budaya membaca bila ingin maju. Budaya membaca harus diciptakan dan dikurangi budaya bercerita dan mendengar.

*Penulis Dosen UMSU Medan, mantan Sekretaris Majelis Kebudayaan PW. Muhammadiyah Sumatera Utara.



 















No comments:

Post a Comment